Eileen Rachman  & Sylvina Savitri
EXPERD
One-day  Assessment Centre
Ditayangkan di  Kompas, 16 Agustus 2008
 
Kalau ada dua  orang berhadapan, saling menatap, dan kemudian salah satu mengambil kesimpulan:  ”Kita beda”, maka menurut pendapat saya, justru mereka sebetulnya sudah  menemukan kesamaan. Di sinilah persepsi mengenai perbedaan dan persamaan akan  terasa keindahannya, karena masing-masing individu yang berhadapan itu sudah  “menemukan dirinya”, keunikannya, dan bahkan “value adding”-nya, sebagai  manusia yang utuh. Itulah sebabnya kita memang perlu berbangga dengan semboyan  negara kita, Bhinneka Tunggal Ika; kesamaan dalam perbedaan, yang  sampai-sampai oleh DJ Romy, cucu Soekarno juga dijadikan tema album terbarunya:  “Unity in diversity”. 
Namun demikian,  meski kita sering mengakui bahwa perbedaan itu indah, begitu sering juga kita  tidak melihat perbedaan sebagai suatu kekayaan. Pikirkan betapa sering kita  ‘buang muka’ bila menemukan orang yang berbeda pandangan dengan kita, bergosip  di belakang orangnya, membahas mengapa dia beda, dan bahkan kemudian kita mulai  melakukan manuver-manuver penyerangan seolah dia atau mereka itu musuh bebuyutan  yang harus dibasmi. Di dalam rapat kita sering  menemui jalan buntu  sekedar karena berbeda pendapat mengenai cara pemecahan masalah atau cara meraih  sasaran yang sebetulnya adalah sasaran bersama. Dalam kondisi begini, ternyata  perbedaan membuat kita tidak nyaman dan bahkan membangkitkan suasana permusuhan.  Alih–alih menyamakan visi dan sasaran, berbicara pun sering tidak kita upayakan,  bila sudah terjebak dalam konflik yang disebabkan adanya perbedaan.   
SAMA TAPI  BEDA
Sikap ‘jijik’  terhadap perbedaan adalah sikap yang mutlak salah, karena dengan demikian kita  lupa bahwa kesamaan bisa membuat kita justru miskin dan tidak berkembang.  Kesamaan latar belakang, pendidikan, kompetensi, dan komitmen yang sering  membuat lingkungan kita ‘nyaman’, terkadang justru membuat kita jadi tidak bisa  menggerakkan suatu tim. Mereka yang bisa menampilkan keberbedaaannya,  kemenonjolannya, dan keunikannya-lah yang kemudian malah bisa mulai memberi  nilai tambah kepada tim. 
Pemahaman  mengenai kesamaan dan perbedaan sesungguhnya adalah dasar untuk mengolah sebuah  tim yang berkekuatan besar. Tanpa menyamakan persepsi, misalnya mengenai situasi  yang sedang kita hadapi, perilaku yang muncul, serta kekuatan dan kelemahan yang  ada, kita tidak bisa mempunyai dasar untuk tinggal landas. Padahal, bukankah  suatu situasi yang sama sering dilihat dengan pendekatan yang beda? Individu  yang satu melihat detilnya, sementara yang lain melihat keseluruhannya. Ada  individu yang banyak melihat, ada individu yang lebih ‘mendengar’, sementara  yang lain lebih dominan perasaannya dalam mendekati suatu  gejala  dan fenomena. Belum lagi, pandangan  dua orang yang akan berbeda  total bila yang satu melihat dengan kepentingan jangka pendek, sementara yang  lain melihat dengan kepentingan jangka panjang. 
Penyamaan  persepsi ini sebetulnya terjadi pada setiap manusia dewasa yang berniat dan  mampu melihat suatu gejala secara obyektif. Tanpa kemampuan ini, individu akan  mencampuradukkan keyakinan, nilai dan visinya dengan perbedaan pandangan pihak  lain, sehingga individu lain dianggapnya berseberangan. Di sinilah kemudian,  kelompok bisa tidak sejalan satu dengan yang lain, divisi A berkonflik dengan  divisi B, partai politik berseteru satu dengan yang lain, akibat ketidakmampuan  melihat  kepentingan bersama, visi dan tujuan bersama yang  sebetulnya sama.  
 
MULAI DENGAN  MEMOTRET DIRI SENDIRI
Ilmu  “emotional intelligence” mengajarkan pada kita untuk meningkatkan  ’self awareness’ kita dulu, bila kita berharap untuk mampu menguasai  situasi sosial atau mempengaruhi orang lain. Ini adalah bagian dari ‘eksplorasi  mental’ yang perlu kita lakukan dengan sengaja. Tanpa melakukannya, kita akan  tumbuh menjadi orang yang kian picik, karena tidak bisa memanfaatkan keberbedaan  yang berangkat dari analisa diri dan situasi yang obyektif. Banyak istilah  seperti “test  the water’, ‘feel the breeze’ yang kurang  lebih artinya adalah menajamkan sensor untuk memahami diri dan situasi sekitar  kita. 
Cara yang paling  mudah untuk ’memotret diri’ ini adalah dengan membandingkan diri kita dengan  orang lain, memahami kesamaan, terutama persepsi dan pemahaman, kemudian  mengidentifikasi keunikan serta keberbedaan orang lain. Hanya dengan ketajaman  mental seperti ini kita bisa mengembangkan respek terhadap orang lain.  Dalam proses eksplorasi  mental ini, kita pasti secara otomatis ingin merasa benar, ingin membela diri  dan bahkan ingin meneruskan cara-cara kita yang lama dan yang sudah ada.  Hal  ini sangat manusiawi karena manusia memang dibekali proses mental untuk menjaga  keseimbangan jiwanya. Namun demikian, orang yang ingin memperkuat mentalnya,  perlu juga melakukan ‘judging, comparing, interpreting, anticipating,  rehearsing’, yang artinya mengolah input yang masuk dan  mencocokkannya dengan realita, mencari kebenaran dan mengambil resiko bahwa ada  kemungkinan ia harus berubah. Hanya dengan cara inilah kita sebagai manusia,  berkembang menjadi manusia yang berpikiran fleksibel dan berpikiran terbuka  dalam menghadapi tantangan.. 
BAYANGKAN  KALAU KITA SAMA SEMUA
Kalau kita, di  dunia ini sama semua, maka pastilah kita akan merasa seperti robot ciptaan  manusia yang sudah diberi bobot emosi, seperti yang digambarkan lewat film-film  science fiction yang marak sekarang. Berbedanya bakat, latar belakang,  pendidikan, dan kompetensi lainnya adalah kekayaan keluarga, kelompok, bahkan  Negara. Perbedaanlah yang memungkinkan kita bisa saling melengkapi kekurangan  satu sama lain, hingga terciptanya sinergi. Hanya saja memang perlu diakui bahwa  menonjolkan keberbedaan alias keunikan kita tidaklah mudah.  
Kita tentunya  tidak bisa berperilaku aneh-aneh untuk mengekspresikan keberbedaan kita. Kita  pun tidak bisa berkoar-koar menonjolkannya. Kita tahu bahwa kita memang perlu  mengekspresikan bahwa “saya adalah saya”, sementara “saya” ini mempunyai nilai,  keyakinan, kompetensi dan sasaran sendiri. Satu-satunya jalan bersikap dewasa  adalah dengan sedikit mengambil ‘jarak’ terhadap diri dan memperbolehkan diri  kita sendiri atau siapa saja meninjau kembali, mengetes lagi, kompetensi, nilai,  keyakinan kita. Bukankah keyakinan juga bisa salah dan nilai pun bisa usang?  Untuk Negara dengan 12000 pulau dan ribuan suku bangsa yang ingin bersatu,  dengan 33 partai politik peserta pemilu 2009 yang disahkan , keterbukaan inilah  yang mutlak diperlukan: Bhinneka Tunggal Ika.  ….Merdeka!!!
EXPERD  CONSULTANT
Adding value to business  results
Plaza  Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang  Jakarta  12310
Telp. 021-7590 6448
Fax.  021-7590  6442
http://www.experd.com
 
No comments:
Post a Comment