Eileen Rachman & Sylvina Savitri
EXPERD
One-day Assessment Centre
Ketika pada tahun 1989 Stephen R. Covey mengentaskan konsep manajemen waktu, dalam buku 7 HABITS , yang diantaranya mengemukakan pentingnya membedakan hal yang “penting dan mendesak (urgen)” dan hal yang “penting dan tidak mendesak”, kita dibuat menyadari betapa kita harus membedakan antara apa yang ‘penting’ dan apa yang ‘urgen’. Stephen Covey mengingatkan bahwa kita seringkali hanya berkonsentrasi pada yang hal yang mendesak (urgen), yang sudah bermasalah dan harus cepat ditangani, karena sebelumnya hal-hal ini diabaikan, tidak diperhatikan karena dianggap tidak penting. Sekarang kita kurang lebih sudah lihat hasilnya : budaya mementingkan “yang penting” menjadi semakin kuat. Buktinya kata ‘penting ‘menjadi sangat popular di lingkungan pergaulan. “Ah, nggak penting….” kata seorang remaja atau “Atasan saya hanya mengurusi yang ‘tidak penting’ …” demikian ujar seorang karyawan perusahaan.
Mengutamakan hal yang “penting” tentunya merupakan sikap antisipatif yang sangat positif, misalnya menyelesaikan laporan sebelum waktunya, mengecek peralatan secara rutin, melaksanakan pengawasan berkala, melakukan rapat reguler dan komunikasi efektif, sehingga kita bisa menekan munculnya masalah yang urgen. Pertanyaannya, apakah perhatian terhadap hal-hal yang penting ini juga mencakup perhatian kita terhadap terpeliharanya mental waspada dan sikap “bergegas” kita dalam bekerja ?
“Sense of urgency” tidak sama dengan ‘menghadapi “urgency” ‘
Dalam dunia kerja dan bisnis sekarang, kita tentunya harus mempertanyakan kapan masih bisa menerapkan faham “alon-alon asal kelakon”. Kita bisa memilih mengatakan pada rekan kerja kita: “Ayo ini sudah bulan oktober” atau “Ini masih bulan oktober”. Kecenderungan untuk hidup ‘enak’ , menutup mata dari kabar buruk dan dorongan untuk menghindar dari kenyataan pahit, sering membuat kita menjerumuskan diri dan tim kita dalam posisi ‘nina bobo’ alias comfort zone. Keadaan ini dipersubur bila tidak ada ukuran yang obyektif mengenai kinerja dan sikap yang diinginkan, sehingga tanpa terasa individu semakin nyaman berada di daerah abu abu dan menghindari konfrontasi hitam putih.
Kita semua pasti setuju bahwa lebih mudah mengendalikan obyek yang bergerak daripada diam. Berpatokan pada hal ini, kita bisa mengadaptasi untuk lebih bersikap dinamis daripada statis. Seorang ahli menyatakan bahwa langkah pertama untuk menghidupkan “sense of urgency” adalah dengan berjalan kaki lebih cepat, sehingga kita juga mensugesti diri sendiri bahwa kita sedang bergegas. Bersikap responsif, misalnya dengan segera menjawab telpon, merespon email, voice mail, blackberry , maupun sms, serta berorientasi ‘action’ seperti ini akan mendorong individu tidak mengijinkan dirinya untuk mencari-cari alasan menunda pekerjaan. Dalam berkomunikasi, kita pun bisa membiasakan untuk tidak berbelit-belit, sehingga orang lain pun terpengaruh untuk berbicara “to the point”. Hal ini membuat kita bisa mengefisiensikan banyak waktu di dalam rapat dan pergaulan.
Kita mudah sekali melihat orang lain tidak mengadaptasi “sense of urgency”, padahal kita sendiri pun barangkali mempunyai penyakit yang sama. Karenanya , bergeraklah, “Do it now!”
EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com
No comments:
Post a Comment