Monday, July 7, 2008

Newsletter - Tax Issue

KENNY WISTON LAW OFFICES
American Grill Bldg 6th Floor
Jl. Tanjung karang No.2, Dukuh Atas 10230
Jakarta Pusat, Indonesia
Tel# +62-21-31938110
Fax# +62-21-31938144
www.kennywiston.com

Karyawan yang bukan konsultan pajak hanya bisa menjadi kuasa bagi Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu. Karyawan tertentu malah tak perlu mendapatkan Surat Kuasa Khusus.

Mahkamah Agung sudah mengetuk palu. Karyawan dari Wajip Pajak (WP) berhak menjadi kuasa mewakili bosnya ke Pengadilan Pajak. Putusan dalam perkara PT Landmark dan PT Kaisar Motorindo Industri itu seolah menegaskan sikap pengadilan tertinggi terhadap eksistensi kuasa dan kuasa hukum dalam mengurusi kepentingan WP. Tapi perlu dicatat bahwa putusan yang diketuk tahun lalu itu masih menyisakan satu pertanyaan: apakah semua karyawan berhak menjadi kuasa WP?

Delapan bulan setelah putusan kasus Landmark keluar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan No. 22/PMK.03/2008 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (PMK 22). Seorang kuasa, menurut PMK ini, bertugas melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari WP. Penerima kuasa bisa seorang konsultan pajak, bisa bukan konsultan pajak.

Karyawan yang berstatus konsultan pajak relatif lebih mudah menjadi kuasa. Sebaliknya, yang bukan konsultan pajak tidak bisa sembarangan menjadi kuasa WP. PMK 22 menegaskan karyawan WP yang bukan konsultan hanya bisa menerima kuasa dalam tiga hal. Pertama, si WP adalah orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Kedua, si WP adalah orang pribadi yang menjalankan usaha atau peredaran bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari 1,8 miliar rupiah per tahun. Ketiga, kalau si WP adalah badan, maka peredaran brutonya tidak lebih dari 2,4 miliar rupiah per tahun.

Dengan pembatasan itu, menurut konsultan pajak Wibowo Mukti, si WP perorangan atau badan yang peredaran bruto tahunannya lebih dari nilai tadi tidak bisa sembarangan memberikan kuasa kepada karyawan. “Tidak dapat lagi memberikan kuasa kepada karyawannya dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakannya,” kata Wibowo.

Selain itu, yang tak kalah penting dari PMK 22, si karyawan yang berhak menerima kuasa tadi harus sudah berstatus karyawan tetap yang telah menerima penghasilan dari WP pemberi kuasa. Pemberian kuasa tersebut juga harus dituangkan dalam Surat Kuasa Khusus yang formatnya sudah ditetapkan Menteri Keuangan.

Pemberian kuasa berdasarkan PMK 22 sebenarnya tidak bisa lepas dari peraturan induknya, yaitu UU No. 28 Tahun 2007 (Ketentuan Umum Perpajakan). Pasal 32 ayat (1) mengatur dalam menjalankan hak dan kewajiban WP badan diwakili oleh Pengurus. Ditegaskan lebih lanjut pada ayat (4), termasuk dalam pengertian pengurus adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijakan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan. Pada bagian penjelasan dipertegas lagi, orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan termasuk berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga dan menandatangani cek. Sekalipun tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus pada akte pendirian.

Pengajar Ilmu Administrasi Pajak FISIP Universitas Indonesia Iman Santoso mengakui aturan pemberian kuasa dalam perpajakan sempat menimbulkan kontroversi di kalangan pemangku kepentingan. Menurut Iman, perdebatannya sedikit ternetralisir setelah Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak No. 16 Tahun 2008. Edaran yang diteken Darmin Nasution ini memberikan penegasan tentang penunjukan seorang kuasa dengan Surat Kuasa Khusus. Dengan SE ini, tidak jadi masalah lagi bagi karyawan menjalankan hak atau memenuhi kewajiban perpajakan WP.

Poin 10 SE tersebut menegaskan bahwa WP dapat meminta karyawannya menyampaikan dan/atau menerima dokumen perpajakan yang diperlukan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan tanpa surat penunjukan kepada karyawan bersangkutan, selain penyerahan dokumen yang dapat disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu. Dijelaskan lebih lanjut dalam SE, pengurus, komisaris dan pemegang saham mayoritas atau karyawan yang nyata-nyata mempunyai wewenang menentukan kebijakan atau keputusan perusahaan dapat menjadi kuasa. Bahkan, pemberian kuasa itu tak perlu dengan surat kuasa khusus.

Aturan SE yang disebut terakhir seolah menafikan kembali PMK 22, khususnya pasal 2. Pasal ini merumuskan seorang kuasa yang ditunjuk WP harus memenuhi syarat antara lain memiliki Surat Kuasa Khusus dari WP. PMK 22 malah telah membuat format baku pemberian kuasa tersebut. Konsultan pajak termasuk ke dalam pengertian kuasa di sini.

Pelimpahan dan penunjukan

Seorang kuasa WP tidak dapat sembarangan bertindak. Salah satu yang tidak boleh dilakukan menurut PMK 22 adalah melimpahkan kuasa yang dia terima dari WP kepada orang lain. PMK 22 dan SE Dirjen Pajak No. 16/2008 memuat aturan yang sama. Malah SE 16 mempertegas bahwa Surat Kuasa Khusus hanya untuk satu pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu.

Meskipun tak bisa mengalihkan kuasa, seorang penerima kuasa WP dapat menunjuk orang lain atau karyawannya terbatas untuk menyampaikan dan menerima dokumen-dokumen perpajakan tertentu yang diperlukan dalam rangka menjalankan urusan pajak yang dikuasakan kepadanya. Si orang lain yang ditunjuk ini wajib menyerahkan Surat Penunjukan.

No comments: